Sejarah Konflik Poso, Perang SARA Islam vs Kristen

Redaksi PetiknetJumat, 22 Juli 2022 | 15:14 WIB
Sejarah Konflik Poso, Perang SARA antara Islam vs Kristen
Sejarah Konflik Poso, Perang SARA antara Islam vs Kristen

Petik.net - Sejarah , Perang SARA adalah sebutan untuk sebuah kecelakaan yang terjadi di Kabupaten Poso, Sulawesi Tengah. Konflik ini terjadi sejak 25 Desember 1998, 20 Desember 2001.

Kerusuhan Poso atau konflik komunal Poso, adalah sebutan untuk rangkaian kerusuhan yang terjadi di Kabupaten Poso, Sulawesi Tengah, Indonesia. Peristiwa ini awalnya bermula dari bentrokan kecil antar kelompok pemuda sebelum berkembang menjadi kerusuhan agama.

Peristiwa Konflik Poso berawal dari bentrokan kecil antar pemuda sebelum akhirnya meluas antar kelompok agama. Dari kejadian tersebut, dirinci 577 orang tewas, 384 luka-luka, 7.932 rumah hancur, dan 510 fasilitas umum terbakar.

Konflik poso antara islam vs kristen ini berakhir pada 20 Desember 2001, dengan deklarasi Malino ditandatangani antara dua pihak yang bertikai di Malino, Sulawesi Selatan, dan diprakarsai oleh Jusuf Kalla. Meskipun dampaknya tidak terlalu terlihat, kesepakatan tersebut setidaknya mampu mengurangi kekerasan frontal secara bertahap, dan tingkat kejahatan mulai menurun pada tahun-tahun setelah kerusuhan.

Penyebab Terjadinya Konflik Poso

Beberapa faktor penyebab pecahnya konflik poso, atau perang poso antara , antara lain:

  • Persaingan ekonomi antara penduduk asli Poso yang mayoritas beragama Kristen dengan pendatang seperti pedagang Bugis dan transmigran dari Jawa yang masuk Islam
  • Ketidakstabilan politik dan ekonomi pasca jatuhnya Orde Baru
  • Persaingan antara pejabat pemerintah daerah atas posisi birokrasi.
  • Distribusi kekuasaan yang tidak merata di tingkat distrik antara Kristen dan Muslim.
  • Situasi dan kondisi negara yang tidak stabil
  • Ditambah dengan lemahnya penegakan hukum, menciptakan lingkungan yang menjanjikan untuk terjadinya kekerasan.

Latar Belakang Terjadinya Konflik Poso

Kabupaten Poso merupakan salah satu dari delapan kabupaten di Provinsi Sulawesi Tengah. Kabupaten Poso ini mayoritas beragama Islam di desa-desa, sedangkan di dataran tinggi mayoritas Protestan.

Selain Muslim asli, ada juga pendatang Bugis dari Sulawesi Selatan dan Gorontalo utara. Kabupaten Poso juga menjadi fokus program transmigrasi pemerintah.

Tujuan dari program transmigrasi ini adalah untuk membawa orang-orang dari daerah padat Muslim, seperti Jawa dan Lombok, serta pulau Bali yang berpenduduk Hindu.

Daerah padat penduduk ini akan dibawa ke daerah yang jarang penduduknya. Dari keadaan tersebut, pada akhir tahun 1990-an penduduk di Kabupaten Poso mayoritas beragama Islam dengan persentase di atas 60 persen.

Pendatang baru ini kemudian menciptakan persaingan ekonomi antara penduduk asli Poso yang mayoritas beragama Kristen dengan pendatang Bugis yang memeluk agama Islam.

Kronologi Perang Poso

Kronologis Kerusuhan Poso dapat dibagi menjadi tiga periode, sebagai berikut:

Desember 1998

Pada malam Natal 24 Desember 1998 yang bertepatan dengan bulan Ramadhan, seorang pemuda dari desa Protestan terbesar di Lambogia bernama Roy Runtu Bisalemba membacok Ahmad Ridwan, seorang pemuda Muslim.

Informasi yang tersebar di pihak Kristen menyatakan bahwa Ridwan mengirim dirinya ke masjid setelah ditikam. Sedangkan versi Muslim menggambarkan peristiwa ini sebagai penyerangan terhadap seorang pemuda Muslim yang dilakukan di halaman masjid.

Para pemuka agama kedua belah pihak kemudian bertemu. Keduanya, sepakat bahwa sumber masalahnya terletak pada minuman keras. Alhasil, Polres Poso pun mulai menyita ribuan minuman keras yang kemudian dihancurkan.

Saat itu, ada sebuah toko yang dijaga oleh pemuda-pemuda Kristen. Mereka juga bertemu dengan seorang pemuda Muslim yang berniat menutup toko tersebut.

Pertemuan ini berakhir dengan bentrokan antara keduanya. Kemudian pada 27 Desember 1998, datanglah sekelompok orang Kristen bersenjata yang menaiki truk dari Tentena, dipimpin oleh Herman Parimo, anggota DPRD Poso.

Parimo dikenal sebagai anggota Gerakan Pemuda Sulawesi Tengah (GPST). Di sisi lain, sedikitnya ada sembilan truk muslim yang datang dari Palu, Parigi, dan Ampana.

Bentrokan pun terjadi, di mana polisi tidak mampu menangkal mereka. Aparat Pemkab Poso diserang berat dengan spanduk, surat tanpa nama, dan coretan.

April 2000

Pada bulan April 2000 mantan Bupati Afgar Patanga berlangsung. Dalam persidangan, Patanga didakwa menggunakan dana dari program kredit pedesaan.

Ada desas-desus bahwa sebagian dari dana itu digunakan untuk menyewa massa untuk menyerang gedung pengadilan.

Pada 15 April, termasuk pertanyaan dari Chaelani Umar, anggota DPRD provinsi dari Partai Persatuan Pembangunan, bahwa akan lebih banyak kekerasan jika Damsik Ladjalani, calon bupati saat itu, tidak terpilih.

Keesokan harinya, seorang pemuda Muslim mengatakan bahwa dia diserang oleh sekelompok pemuda Kristen. Dia menunjukkan luka di lengannya sebagai bukti. Umat ​​Islam yang tidak menerimanya menanggapi.

Perkelahian terjadi antara pemuda Kristen dan pemuda Muslim. Selama beberapa hari perang berlanjut. Rumah-rumah milik umat Kristen Poso dibakar.

Kejadian ini mengharuskan Kapolres Poso untuk mendatangkan pasukan Brimob dari Palu.

Pada 17 April, anggota Brimob secara tidak sengaja menembaki massa yang mendukung Mohammad Yusni dan Yanto, dan melukai delapan pemuda Muslim lainnya.

Setelah Brimob dipulangkan ke Palu, pembakaran rumah masih berlanjut. Pangdam Wirabuana, Mayor Jenderal TNI, Slamet Kirbiantoro, di Makassar akhirnya mengirimkan 600 pasukan. Pertempuran mereda.

Mei 2000

Peristiwa Mei 2000 adalah pertempuran terbesar dan terburuk. Periode ini didominasi oleh reaksi Kristen terhadap Muslim. Selain itu, ada juga insiden penculikan dan pembunuhan. Wawancara Menurut Human Rights Watch, para migran dari Sulawesi Selatan dan Gorontalo pada umumnya menjadi korban aksi tersebut.

Pada awal Mei, muncul desas-desus bahwa banyak pemuda pelatihan Kristen telah membawa diri mereka ke sebuah kamp di Kerei.

Pasukan Kristen menamakan operasi ini “kelelawar merah” dan “kelelawar hitam”. Pasukan ini konon dipimpin oleh Fabianus Tibo, seorang pendatang dari Flores, NTT.

Pada pagi hari tanggal 23 Mei, sekelompok kelelawar membunuh seorang polisi, Sersan Walikota Kamaruddin Ali dan dua warga sipil Muslim, Abdul Syukur dan Baba.

Kelompok ninja (kelelawar hitam) ini kemudian dikenal dalam sebuah karya Katolik di Desa Moengko.

Mereka mulai bernegosiasi dengan polisi untuk menyerah. Umat ​​Islam juga sudah menunggu di depan gereja. Pasukan ninja menunjukkan diri, bukannya melarikan diri ke belakang bukit.

Aksi ini kemudian menyulut kemarahan umat Islam. Mereka membakar gereja pada pukul 10.00 WIB. Pada tanggal 28 Mei, serangan menjadi lebih luas terhadap Muslim.

Para wanita dan anak-anak ditangkap. Ada yang dibakar hidup-hidu didalam masjid dan beberapa dari mereka bahkan mengalami aksi pemerkosaan.

Sekitar 70 orang lari ke pesantren terdekat, Pesantren Walisongo, di mana banyak umat Islam dibunuh dengan senjata api dan parang.

Mereka yang melarikan diri juga ditangkap, yang kemudian dieksekusi dan mayatnya dibuang ke Sungai Poso. Di sekitar kuburan massal ditemukan 39 jenazah dengan jumlah korban tewas sekitar 191 orang.

Penyelesaian Konflik Poso

Setelah reda, Mabes Polri di Jakarta akan menyiapkan Komando Lapangan Operasi. Melalui kebijakan ini, operasi militer di Poso dilakukan dengan berbagai kode operasi. Pada tahun 2000 diadakan Operasi Sadar Maleo.

Pertengahan April 2004 terjadi Operasi Sintuwu Maroso. Satuan TNI dan Polri yang terlibat dalam operasi ini antara lain Brimob Polda Papua, Brimob Polda Kaltim, Brimob Kelapa Dua Bogor, dan lainnya.

Konflik Poso berakhir dengan penandatanganan Deklarasi Malino, 20 Desember 2001. Deklarasi Malino merupakan kesepakatan damai antara umat Kristen dan Muslim.

Sebelumnya, korban sendiri tercatat 577 tewas, 384 luka-luka, 7.932 rumah hancur, 510 fasilitas umum terbakar. Kemudian pada Mei 2000 diklaim ditemukan 840 jenazah warga muslim.

Referensi:

Human Rights Watch. (2000). Breakdown: Four Years of Communal Violence in Central Sulawesi. New York City.

Mappangara, Suriadi. (2001). Respon Militer Terhadap Konflik Sosial di Poso. Palu: Yayasan Bina Warga.

Pembelajaran Bagi Kita dari Konflik Poso

Dari kejadian dimasa lampau tersebut, dapat kita jadikan sebagai pembelajaran bagi kita sesama bangsa Indonesia untuk saling menghargai kerukunan antar umat beragama.

Seperti yang sudah tercantum dalam undang-undang dasar tentang hak dan kewajiban warga negara.

Bahwa setiap warga negara berhak atas kebebasan berpikir, keyakinan dan beragama. Serta kewajiban untuk saling menghargai perbedaan agama yang ada.

Agar hal yang sudah terjadi di masa lalu tidak terulang kembali saat ini. Dimana hal itu sangat berakibat fatal dan memakan banyak korban jiwa yang tidak berdosa.

Dari sini dapat kita ambil pelajaran bahwa sumber utama terjadinya konflik berawal dari miras. Minuman keras sangatlah tidak baik untuk di konsumsi, selain merusak kesehatan, miras juga mengganggu kesadaran berpikir bagi yang mengkonsumsinya.

Hal ini harus menjadi perhatian khusus bagi pemerintah untuk menentukan kebijakan yang tepat dan tegas terkait pelarangan miras.

Akhir Kata

Terima kasih sudah membaca artikel ini sampai tuntas. Begitulah informasi mengenai , Perang SARA antara Islam vs Kristen yang belakangan ini sedang dicari.

Sekian pembahasan dari Petiknet pada kesempatan kali ini. Semoga informasi yang diberikan tersebut bisa memenuhi informasi yang sedang Anda cari dan Jangan lupa untuk membagikan artikel ini agar bermanfaat untuk semua ya ka.. Terima Kasih.